RUU Perdagangan: Politik Neokolonialisme

Foto : Ilustrasi

Jakarta, Seruu.Com – Liberalisasi perdagangan saat ini sudah menjadi kebijakan nasional yang hendak didorong oleh Pemerintah. Bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah berupaya membuat dan merevisi seluruh regulasi nasional sehingga memiliki kesesuaian dengan komitmen yang telah diikatkan pemerintah ke dalam Perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatanganinya. Nampaknya, RUU Perdagangan adalah salah satu rancangan regulasi nasional yang akan diharmonisasikan dengan agenda tersebut.

Dalam perjanjian perdagangan bebas ditingkat multilateral, Indonesia adalah anggota World Trade Organization (WTO) sejak tahun 1995 dimana organisasi ini mendorong seluruh anggotanya untuk meliberalisasi perdagangan dan melarang penerapan proteksi bagi masuknya modal, barang ataupun jasa. Pada tingkat regional, Indonesia merupakan anggota dari ASEAN. Pada tahun 2015 ASEAN akan segera melaksanakan perdagangan bebas kawasan atau ASEAN Economic Community (AEC) yang mengintegrasikan seluruh aspek-aspek ekonomi di Indonesia. Semua ini telah menimbulkan dampak buruk terhadap Indonesia, khususnya perekonomian nasional.

Pembukaan pasar telah mengakibatkan serangan impor ke Indonesia dan berdampak pada ketidakmampuan nelayan, petani, dan UMKM untuk dapat bersaing menghadapi produk-produk impor yang merajai pasar Indonesia. Selain itu, besarnya arus bebas investasi telah mengakibatkan sector-sektor strategis yang penting bagi Negara dan menguasai hajak hidup orang banyak dikuasai oleh investasi asing. Pembentukan iklim investasi yang kondusif pada akhirnya mengorbankan kesejahteraan buruh dengan jaminan upah murah dan larangan untuk berserikat.

Pandangan Terhadap RUU Perdagangan

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kita memang perlu merespon dan menjawab tantangan dari tren liberalisasi perdagangan yang terjadi hari ini. Namun, respon tersebut harus diletakkan pada posisi yang tepat dan dilandaskan pada kedaulatan Negara, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. RUU Perdagangan sepertinya masih jauh dari harapan untuk dapat menjawab kebutuhan rakyat Indonesia dan melindungi kepentingan nasional, sehingga perlu segera disikapi oleh organisasi masyarakat sipil di Indonesia.

Oleh karena itu kami, Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia dengan ini menyampaikan  pandangan terhadap RUU Perdagangan sebagai berikut:

RUU Perdagangan melanggar hak-hak Konstitusional warga Negara khususnya Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Dilihat dari landasan filosofis di dalam Naskah Akademis yaitu “trade makes everybody better off”, bisa dipastikan bahwa landasan filosofis tersebut diadopsi secara mentah-mentah dari paham ekonomi liberal dan disusun sebagai bagian dari upaya free fight liberalism yang berpotensi melanggar hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang merupakan hak konstitusional warga Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, Pasal 28A UUD 1945 yang menyatakan : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”. Pasar bebas telah mengakibatkan hilangnya hak atas pekkerjaan rakyat Indonesia sehingga berpotensi terhadap kehidupan warga Negara Indonesia.

Kaitannya dengan RUU perdagangan, yang tercantum dalam bab V minimnya perlindungan terhadap usaha mikro dan menengah akan berdampak pada pelaku ekonomi pasar, bagaimana mereka bisa bersaing dengan produk-produk barang dari luar, bagaimana mengenai system standarisasi barang/jasa, bagaimana peran pemerintah dalam membina dan mengembangkan sector usaha mikro untuk dapat bersaing. Dari permasalahan tersebut apabila menimpa pelaku ekonomi (pedagang) usaha mereka akan tutup karena tidak bisa bersaing karena kendala standarisasi barang, dan jasa. Hal ini akan menambah adanya penganguran baru.

Dalam RUU perdagangan akan berdampak pada pemenuhan hak penghidupan yang layak bagi masyarakat Indonesia, arus perdagangan bebas yang terlalu memuja liberalisasi dengan invisible hand membuat peran pemerintah didalam melindungi, dan mengawasi, perdagangan semakin terbatas, ada beberapa cotoh kasus misal mengenai hilangnya sumber hidup para pedagang tradisional.

Sekarang telah terjadi perubahan mengenai pola dan selera belanja masyarakat, kalau pada 10 tahun silam banyak orang berdatangan dari kalangan atas hingga kalangan bawah untuk transaksi pembelian di pasar tradisional, baik itu besar maupun kecil, namun sekarang mereka beralih ke pasar modern yang lebih baik, tertata, bersih, sejuk, harga terbandrol tanpa harus melakukan tawar-menawar, bahkan karena menjamurnya pasar-pasar modern yang berstandar ini, mereka sering melakukan diskon pemotongan harga sebagai promosi, lantas bagaimana dengan transaksi yang ada di pasar tradisional? Sudah pasti mereka akan kalah dengan pasar modern yang memiliki standar, dan modal lebih. Pada akhirnya kesejahteraan dari pelaku, maupun masyarakat tidak akan terpenuhi secara merata. Di dalam Naskah Akademik, maupun RUU perdagangan system standarisasi, menjadi soal yang sangat serius untuk masalah seperti ini.

RUU Perdagangan telah Bertentangan dengan Prinsip Demokrasi Ekonomi.

RUU Perdagangan lebih menekankan prinsip-prinsip dalam Perjanjian-perjanjian Internasional, baik di dalam World Trade Organization (WTO) ataupun ASEAN Free Trade Agreements (FTA), yaitu prinsip non-diskriminasi, harmonisasi, pembukaan pasar, dan penghapusan hambatan perdagangan. Oleh karena itu, RUU Perdagangan telah melupakan landasan ideologis dan filosofisnya yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) sebagai upaya untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi Indonesia kedalam penguasaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Prinsip-prinsip ekonomi liberal yang tercantum dalam RUU Perdagangan telah menghilangkan asas-asas mendasar dari demokrasi ekonomi yang tercermin dalam Konstitusi Republik Indonesia yang dimuat dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu usaha bersama, asas kekeluargaan, hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, hak menguasai negara atas kekayaan alam, dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

RUU Perdagangan telah mendiskriminasikan non Pelaku Usaha Skala Besar

Perlakuan sama terhadap yang berbeda adalah praktek diskriminasi itu sendiri, padahal perlindungan dari praktek diskriminasi adalah mandat Pasal 28I ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”. Oleh karenanya RUU Perdagangan haruslah tidak berprinsip kepada Equal treatment, tetapi berprinsip pada National treatment dan affirmative action.

RUU Perdagangan tidak mengakui hak-hak pelaku perdagangan non-pelaku usaha, seperti petani dan nelayan kecil, yang merupakan korban dari sistem perekonomian liberal. Penerapan prinsip non-diskriminasi atau perlakuan yang sama di dalam RUU Perdagangan telah menghilangkan perlindungan negara terhadap pelaku ekonomi nasional dalam rangka meningkatkan daya saing yang selama ini kalah bersaing akibat liberalisasi perdagangan. Penerapan asas perlakuan yang sama bagi setiap individu ataupun badan usaha pelaku usaha menunjukkan bahwa pemerintah telah mengabaikan perlindungan hak-hak petani, nelayan, dan UMKM dari praktek liberalisasi perdagangan tanpa memberikan perlakuan khusus dan affirmative action.

Tindakan perlindungan dan pengamanan dalam RUU perdagangan yang diadopsi dari aturan WTO telah mengabaikan hak-hak petani, nelayan, dan UMKM untuk juga dapat dilindungi dari serangan impor akibat dibukanya pasar.
Aturan standarisasi berpotensi mematikan petani dan nelayan.

RUU Perdagangan telah menghilangkan kedaulatan ekonomi Indonesia Aturan Ekspor-Impor yang diatur dalam RUU Perdagangan tidak ditujukan untuk menghentikan pasar bebas perdagangan, tetapi justru semakin meliberalisasikannya. Seharusnya RUU perdagangan melakukan proteksi, dalam rangka meningkatkan daya saing industri nasional serta daya saing petani, nelayan, dan UMKM.

Seruan untuk menggunakan produk dalam negeri hanya sekedar seruan moral. Bahwa seharusnya pemenuhan kebutuhan domestic dari barang-barang lokal sudah menjadi keharusan sebagai bagian dari perwujudan kedaulatan ekonomi, dan bukan menggantungkan pada Impor.

Pengendalian dalam perdagangan tidak diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi, tetapi menggantungkan impor untuk memenuhi pasokan dalam negeri. RUU perdagangan seharusnya mensinergikan dengan upaya peningkatan produksi dan produktivitas dalam negeri dengan memperkuat pelaku lokal (bukan asing) dan didukung oleh Pemerintah sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan tidak bergantung pada impor. Contohnya: bahwa Indonesia dapat mewujudkan kedaulatan pangan dengan kekayaan alam yang dimilikinya sehingga tidak bergantung pada pangan impor.

Posisi Terhadap RUU Perdagangan

Menolak RUU Perdagangan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR RI bersama Pemerintah karena RUU Perdagangan semakin menegaskan praktek liberalisasi perdagangan di Indonesia dan bukan dalam rangka melindungi kepentingan nasional. Diperlukan pembaruan hukum yang mampu menjawab dampak buruk yang ditimbulkan dari liberalisasi perdagangan dan berdiri untuk melindungi kepentingan perekonomian nasional, khususnya masyarakat miskin seperti petani, nelayan, buruh, dan lain sebagainya.

dikutip dari seruu.com

Tinggalkan komentar